
"Di antara kemungkinan manuver yang akan dilakukan Jokowi jelang lengser adalah ingin menguasai atau mengendalikan pemerintahan baru (Prabowo-Gibran) melalui kaki tangannya," kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dalam keterangannya, Sabtu (7/9/2024).
Menurutnya penilaian itu mempunyai dasar kuat, seperti diperlihatkan dengan upaya Jokowi mengendalikan kepolisian dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
"Ini terlihat ketika Jokowi ingin menjadi semacam koordinator koalisi partai yang mendukung pemerintahan baru. Penguasaan juga terbaca dengan upaya menguasai aparat kepolisian dan KPK," jelasnya.
Ia menilai Jokowi melakukan dua manuver yaitu autocratic legalism dan new despotism.
"Kedua pola itu akan menumbuh suburkan korupsi atau semakin merajalela kleptocracy," lanjut Ubedilah.
Gambaran autocratic legalism Presiden Jokowi adalah merevisi UU KPK tahun 2019 sehingga KPK berada di bawah rumpun eksekutif. Kemudian membuat UU Omnibus Law yang banyak merugikan pekerja dan buruh namun menguntungkan pengusaha. Selain itu masih ada Putusan MK No 90 tahun 2023 terkait batas usia capres-cawapres yang terbukti menguntungkan anaknya kini jadi wapres pendamping Prabowo.
Sementara pola new despotism bisa dilihat dalam lima tahun terakhir sejak Pemilu 2019. Misalnya popularitas, elektabilitas, dan kepuasan yang tinggi dari masyarakat dilakukan secara manipulatif dan dibarengi represi.
Ubedilah mengutip data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bahwa ada represi terhadap demonstrasi sebanyak 68 kasus. Penangkapan sewenang-wenang 3.539 korban dan penahanan sewenang-wenang 326 korban dan penyiksaan sebanyak 474 korban.
Lalu data Amnesty International Indonesia tahun 2024 mencatat aparat Polri terlibat dugaan 100 kasus penyiksaan dengan 151 korban dari total 142 kasus dengan 227 korban.
"Parahnya, meski demokrasi manipulatif terjadi, tidak sedikit rakyat yang mendukung karena kebodohannya atau dalam bayang-bayang represi," tandas mantan aktivis 98 tersebut. []